40 Hari di Nagari Penuh Mitos



           Seketika saya terkejut melihat nama saya terpampang bersama deretan nama kawan-kawan lain di Portal KKN Unand 50 hari yang lalu. Saya ditempatkan di sebuah nagari penuh mitos. Nagari tersebut merupakan bagian dari Kecamatan Sumpur Kudus. Dulu, mendengar nama Sumpur Kudus saja orang lain sudah takut. Apalagi berdomisili dalam waktu 40 hari di salah satu nagari di Sumpur Kudus.  Kata sebagian orang yang sudah berkunjung ke sana, Sumpur Kudus orangnya punya ilmu tenaga dalam dan sakti mandra guna. 
            Lalu, ada sebuah tradisi lama yang mengharuskan orang yang baru masuk ke Sumpur Kudus menancapkan kayu atau lidi serta meninggalkan satu buah benda sebagai tanda masuk daerah tersebut. Tak hanya itu, jika melakukan perjalanan ke daerah tersebut juga tidak boleh lewat dari pukul 9 malam. Kalau hal tersebut tidak dipercayai, orang bersangkutan akan mengalami sakit dan geram seperti orang gila. Itulah cerita yang saya dengar dari kakek, ayah, ibu dan keluarga saya  yang lain saat saya menyinggung mengenai daerah bernama Sumpur Kudus.
            Rasa takut menjadi gila hingga tidak mengenali siapa-siapa, cemas jika menetap dan menikah dengan pemuda setempat karena pengaruh ilmu guna-guna, menggerogoti diri saat mengingat cerita yang pernah didendangkan kepada saya. Hal itu berlanjut hingga keberangkatan KKN 4 Juli lalu. Di dalam pikiran saya saat berada di dalam bus pariwisata berwarna biru, terbesit pertanyaan apakah saya akan mengalami nasib yang sama dengan seseorang yang pernah diceritakan kakek dan keluarga yang lainnya? Entahlah. Saya hanya butuh bukti nyata dari semua peristiwa yang terjadi.
            Di tengah perjalanan, salah seorang teman laki-laki saya bertanya:
          "Apa benar di tempat KKN kita menakutkan? katanya menatap sembari menunggu            jawaban.
         Saya memang asli orang Sijunjung. Lahir di salah satu rumah bidan di Kenagarian Muaro Kecamatan Sijunjung Kabupaten Sijunjung pada 1995 silam. Tetapi tidak semua nagari di kabupaten Sijunjung saya ketahui se detail itu. Jadi saya hanya menjawab semampu saya. Sesuai dengan apa yang saya tahu dan saya dengar. Saya mengatakan kepada dia, bahwasanya daerah tempat KKN saya dan kawan-kawan saat ini tidak menakutkan seperti daerah Sumpur Kudus. Memang beredar mitos seperti kalau mau makan, harus berhati-hati dan siaga. Kita (pendatang-red) baru bisa makan, setelah pemilik rumah makan terlebih dahulu. 
          "Kata sebagian orang, di daerah sana banyak tubo. Tubo adalah sejenis racun yang dimasukan ke dalam makanan atau minuman. Tubo itu kecil. Tidak tampak oleh mata. Jika termakan, kita akan terserang penyakit," ujar saya kala itu. 
Tidak ada maksud saya untuk menakut-nakuti teman saya saat itu. Akan tetapi, itulah yang saya ketahui. Itulah yang saya dengar. 
           3 jam perjalanan dari Padang menuju Sijunjung. 291 mahasiswa dan dosen pembimbing lapangan tiba di gedung Pancasila. Saya tidak tahu pasti, mengapa gedung tersebut dinamai gedung Pancasila. Yang jelas gedung tersebut selalu digunakan sebagai tempat pertemuan. Saya dan kawan-kawan disambut Wakil Bupati Sijunjung, Arrival Boy. Saat itu,  Arrival Boy berharap kepada mahasiswa yang akan ber-KKN di Sijunjung agar mampu menciptakan suasana baru dan keakraban di lingkungan masyarakat.
            “Hati-hati bertutur kata dan bersikap. Sebab berbeda tempat berbeda situasi yang didapatkan,” tuturnya.
           Kalimat wakil bupati kala itu lagi-lagi mengingatkan saya akan mitos-mitos yang beredar. Ada apa sebenarnya di nagari tempat saya ber-KKN? Sebenarnya saya juga tak harus mempertanyakan hal itu sedemikian rupa. Saya berasal dari daerah Sijunjung. Tetapi, saya hanya sekedar tahu, tidak paham betul seperti apa adat, budaya, serta tradisi yang berlaku di daerah tempat saya ber-KKN. Itulah sebabnya saya mempertanyakan hal tersebut.
            Saya kenal dengan pepatah, "dimano bumi dipijak, disitu langik dijunjuang". Artinya, dimanapun kita berada, kita harus mampu menyesuaikan diri dengan adat istiadat serta kebudayaan daerah yang kita tempati. Pepatah tersebutlah yang menjadi penguat saya ketika itu.
                 Usai penyambutan oleh wakil bupati di gedung tersebut, kami melanjutkan perjalanan menuju daerah tempat saya KKN. Nagari Tanjung Bonai Aur Selatan. Nagari tersebut merupakan pemekaran dari nagari Tanjung Bonai Aur. Memiliki 5 jorong yaitu Pincuran Tujuh, Aur Seriau, Puntian, Kuok dan Payo Lowe.
                      Tibalah kami di perempatan jalan. Jika lurus, kami akan sampai di jorong kuok. Jika ke kiri, kami akan sampai di daerah Tamparungo, Sisawah, dan Silantai. Jika ke kanan, tibalah kami di Nagari Tanjung Bonai Aur Selatan. Kami disambut oleh wali nagari dan jajarannya serta merta melakukan persentasi program kerja.
                     Keesokan harinya kami ditempatkan di masing-masing jorong. Satu jorong terdiri dari 5-6 orang. Saya bersama empat teman saya ditempatkan di jorong Payo Lowe. Satu teman laki-laki dan 3 teman perempuan. Itulah tim saya untuk mengabdi kepada masyarakat selama 40 hari.
                       Saya dan teman-teman tinggal di rumah warga.  Rumah tersebut, dihuni oleh dua kepala keluarga. Istilah nya dua pasang suami istri. Setibanya di rumah tersebut, kami disuguhkan satu gelas air putih per masing-masingnya. Tak hanya itu, kami juga disuguhkan kue sapik, maloyang, dan ragam kue lainnya. Awalnya saya ragu untuk memakan kue tersebut. Saya ragu karena saya terus mengingat perkataan orang-orang sekitar terhadap saya, bahwa jika makan atau minum di nagari tersebut harus mendahulukan penghuni rumah.  Saya minum jika pemilik rumah minum. Begitupun makan. Setelah, pemilik rumah minum, saya baru minum. Saya lihat tidak terjadi apa-apa dengan mereka. Setelah itu, pemilik rumah makan. Saya juga melihat tidak terjadi apa-apa dengan mereka.
                
                        Suatu ketika, penghuni rumah bisa menilai keraguan kami. Ia berkata:
                        "Nampak dek apak, kalian takuik-takuik makan di tampek apak. Jan takuik lo lai. Ndak ado gai apo-apo di makanan tu do. Di daerah apak ko lah kurang nan mode-mode di daerah sumpu. Hampia dikatoan indak ado," ujarnya.

Keesokan harinya, saya memberanikan diri untuk makan dan minum di rumah warga tersebut.  Ya, itu jika disilahkan penghuni rumah. Tidak satu dua kali saya melakukan hal tersebut. tetapi berkali-kali. Hingga saya menyimpulkan, satu mitos mengenai tubo terbantahkan berdasarkan bukti dan perkataan pemilik rumah.
                       Sekarang, seakan-akan cerita itu hanya pengobat tidur dan terkesan menakut-nakuti. Tapi percaya atau tidak, kejadian tersebut memang benar adanya di daerah sumpur kudus sana. Karena bagaimanapun, sumpur kudus adalah bagian dari minang kabau yang kaya akan budaya dan tradisi nenek moyang yang turun temurun menjadi adat dan kebiasaan di minang kabau. Ada sebagian orang berpendapat kalau cerita- cerita tersebut harus dihilangkan, karena sangat bertentangan denga agama. Serta akan memperburuk citra suatu daerah.
            `

Komentar

  1. Ceritanya sangat menarik..
    Trims ya karena telah berbagi pengalaman.. Salam..

    BalasHapus
  2. Saya dulu KKN di nagari Unggan Bukik Sumpur Kudus sekitar tahun 1993..
    Yang menarik adalah setelah sekian puluh tahun, cerita 'miring' mengenai mitos didaerah tersebut belum pupus ditelan masa..

    Saya ingin kembali kesana untuk bersilaturahmi dengan saudara-saudara saya selama KKN disana..

    Salam

    BalasHapus
  3. Saya KKN di Nagari Unggan Bukik Sumpur Kudus saat KKN mahasiswa Unand th 1993 - 1994..
    Menariknya adalah setelah sekian puluh tahun, cerita mitos tersebut masih melekat dalam pikiran banyak orang yang belum pernah kesana..

    Saya ingin kembali kesana untuk silaturahmi kembali dengan saudara-saudara saya selama saya KKN disana..

    Salam Bahagia

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resep dan Cara Membuat Dendeng Balado Basah yang Dipadukan Sambal Lado Merah

Mitos Alis Menyatu